Minggu, 06 Juli 2008

Yang Terbaik dari Kita

Sudah lima tahun Mia mengenal Kiki. Tak ada seorang pun di dunia ini yang lebih mengenal Kiki selain Mia sendiri. Begitu pula sebaliknya, Kiki pun mengenal Mia luar-dalam. Selama lima tahun mereka bersahabat, sudah banyak suka duka yang mereka lalui. Mulai dari masalah sederhana seperti shopping bersama, hang-out bareng, tukar menukar gaun pesta sampai masalah patah hati ketika ditinggal sang pacar. Di mana ada Mia, selalu ada Kiki; begitu kata orang-orang. Memang, kedua sahabat ini tak bisa dipisahkan. Apabila ada Mia ada masalah, selalu Kiki yang diberitahu duluan. Apabila Kiki menyukai seorang cowok, maka Mia lah yang pertama kali diminta pendapat.

Tapi beberapa hari ini Mia merasa ada sedikit kejanggalan pada diri Kiki. Kiki jarang lagi menelepon. Jarang mau juga kalau diajak jalan-jalan bersama. Kalau ditelepon, alasannya selalu sibuk. Baru dua hari ini Kiki seperti ini. Biasanya Kiki selalu mau saja diajak untuk bertukar pikiran dan
hang-out. Ada apa ini?! Apakah Kiki marah sama dia gara-gara Mia keluar sama cowok yang pernah berselisih dengan Kiki?

Begitu pula hari ini. Mia mencoba menelepon Kiki. Sudah tiga kali dicoba, ngga diangkat-angkat juga! Mia mulai jengkel dan depresi. Sahabat terbaiknya yang paling mengerti dia sudah tiga hari tidak meneleponnya. Dihubungi juga selalu tidak diangkat. Setiap Mia mendatangi rumah Kiki, Kiki selalu tidak ada di rumah.

Di tengah-tengah kekalutannya, Mia mencoba untuk menelepon ketiga kalinya. Masih ada sedikit harapan pada diri Mia dengan harapan teleponnya diangkat dan dijawab. Tetapi, paling-paling jawabannya hanya repot dan tidak bisa menelepon lama-lama

"Halo?" tiba-tiba suara di ujung sana menjawab. Suara yang tak asing lagi; suara Kiki.

Hati Mia seketika serasa melonjak kegirangan, "Kik! Ada apa denganmu? Akhir-akhir ini koq jarang kelihatan? Kamu koq semakin menjauh? Apa aku berbuat salah padamu?"

"Oh Mia," jawab Kiki enteng, "Sori akhir-akhir ini aku lagi repot. Sori ya ga bisa lama-lama nelpon. Ini lagi ada kerjaan banyak!"

Mia menarik napas sebentar. Memang sepertinya ia sudah berbuat salah pada Mia. Suatu kesalahan yang sepertinya tidak termaafkan bagi Kiki. "Nanti malam bisa ketemu?" tanya Mia. Ia ingin sekali menyelesaikan segala permasalahan antara ia dan Kiki.

Tampak Kiki terdiam sebentar (mungkin ia tengah berpikir). "Sepertinya ngga bisa. Maaf ya. Eh ya udah dulu. Ini udah masuk nih. Byeee..." dan Kiki langsung menutup teleponnya.

Mia terdiam untuk beberapa detik ke depan. Serasa ada sesuatu antara dia dan Kiki. Entah apa itu. Entah perasaan apa itu yang menyelimuti dia. Kiki memusuhinya. Seolah dia akan kehilangan sahabat karibnya untuk selamanya. Benar-benar perasaan yang sangat menyedihkan. Perasaan saat dia akan kehilangan seseorang yang paling berharga di hidupnya selamanya.

Malam itu, Mia duduk di depan beranda rumahnya. Entah mengapa malam itu malam paling sepi dan dingin di hidupnya. Tidak ada suara-suara yang lain selain tiupan angin dan daun. Angin malam itu juga lain dari biasanya. Lebih dingin, lebih menusuk. Lebih sepi...

Ia akan kehilangan seorang sahabat paling berharga di hidupnya karena kesalahannya. Ia menyakiti hati Kiki. Rasanya sepi sekali... Menyedihkan dan menakutkan.


Tiba-tiba Mia dikejutkan dengan bunyi dering dan getar telepon genggamnya di saku celananya. Cepat-cepat ia mengambil dan menjawabnya. Panggilan dari nomor tak dikenal.

"Halo?" "Ibu Mia? Kami dari rumah sakit mau mengabari Anda kalau teman Anda yang bernama Kiki meninggal dunia tadi."

Mia mengganti tangan yang lain untuk memegang telepon genggamnya sambil melonjak bangkit dari tempat duduknya. "A-apa...?" ujar Mia gemetar.

"Kami turut berduka, bu Mia. Tadi sebelum almarhumah Kiki menghembuskan napas terakhirnya, ia menyebut nama Anda. Kami langsung mencari nomor Anda di telepon genggamnya Kiki. Benar ini Mia yang dimaksud?"

Mia terdiam. Ia masih shock, sangat shock.

"Kecelakaan, bu. Kiki ditabrak di perempatan jalan ketika hendak menyeberang ke Jalan Mawar. Katanya ia tak melihat ketika ada seorang pengemudi ngebut."

Telepon Mia meluncur dari tangannya. Ia masih menatap kosong ke depan. Air mata mengalir di wajahnya tanpa disadarinya. Mulutnya terbuka, setengah tak percaya. Tangannya gemetar. Kakinya lemas. Ia tahu kalau dari rumah Kiki untuk menuju rumahnya harus melewati Jalan Mawar. Hati Mia hancur. Dan semakin hancur pada keesokan harinya setelah ia tahu bahwa selama ini Kiki menghindarinya bukan karena memusuhinya atau menghindarinya. Tiga hari ini Kiki mengurung diri di dalam rumah untuk mempersiapkan kado ulang tahun yang terindah untuk Mia. Dan ia tertabrak ketika ia sedang memungut ukir-ukiran gantungan kunci yang terjatuh saat sedang menyeberang.

Friends are like balloons; once you let them go, you might not get them back. Sometimes we get so busy with our own lives and problems that we may not even notice that we've let them fly away. Sometimes we are so caught up in who's right and who's wrong that we forget what's right and wrong. Sometimes we just don't realize what real friendship means until it is too late. I don't want to let that happen so I'm gonna tie you to my heart so I never lose you.

Hargailah orang-orang di sekeliling kita; keluarga, saudara -saudara dan sahabat-sahabat kita. Kita saat ini mungkin belum merasakan betapa berharganya mereka. Mungkin saat ini kita sering menyia-nyiakan mereka, menganggap diri sendiri paling benar dan menuntut mereka untuk meminta maaf kepada kita.

Mungkin juga kita sering mengesampingkan mereka dengan alasan sibuk dengan kegiatan kita yang lainnya. Ketika mereka membutuhkan kita, mungkin seringkali kita mengabaikan sahabat-sahabat kita.

Kita mungkin seringkali menuntut dan menuntut mereka tanpa menyadari apa yang sudah kita berikan kepada mereka. Ketika suatu hari mereka tidak ada, barulah kita menyadari kehilangan itu.


Blogger yang terkasih, hargailah saudara dan sahabat kita. Prioritaskan mereka selagi kita masih hidup, selagi mereka masih hidup. Berikan yang terbaik kepada mereka. Jangan menghakimi, jangan menuntut. Tetapi beri dan beri terus yang terbaik kepada mereka. Setiap tarikan napas yang kita ambil merupakan anugerah. Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berharga bagi orang lain.

Tidak ada komentar: