Ini adalah kisah nyata. Pelajaran sangat berharga.
Alkisah ada seorang pemuda yang sangat gemar mendaki gunung. Ia mempunyai satu mimpi yang sangat besar kalau ia akan menaklukkan gunung tertinggi di dunia, gunung Everest, suatu harinya. Ia berlatih keras, berolahraga dan benar-benar berjuang untuk mengejar mimpinya itu. Ia tidak pernah absen dalam acara pendakian dan selalu berusaha keras. Sudah banyak gunung-gunung kecil yang ia taklukkan.
Suatu hari ketika ia sedang mendaki sebuah gunung yang sangat tinggi (bukan gunung Everest), ketika ia hampir mencapai puncak, ia mengalami satu musibah. Singkat cerita, ia harus terdampar di dalam sebuah gua dengan badai salju yang sangat dahsyat di luar.
Berharap bisa cepat untuk reda, ia pun beristirahat di dalam gua itu. Tapi setelah beberapa hari, badai salju tidak kunjung reda. Bahaya pun mengancam. Kakinya kedinginan dan mulai membeku. Ia tahu, kalau kakinya membeku, maka tidak baik juga untuk keseluruhan tubuhnya. Setelah mengambil pertimbangan selama beberapa waktu, ia memutuskan untuk membuntungi kakinya untuk tetap hidup. Singkat cerita, ia selamat dari "pembekuan" tetapi harus kehilangan salah satu kakinya.
Padahal kaki adalah aset yang sangat berharga bagi seorang pendaki. Selama beberapa tahun, ia tidak bisa mendaki. Banyak temannya yang mengatakan, ia tak akan mendaki lagi untuk selamanya. Tetapi pendaki itu tidak pernah kehilangan mimpinya: mendaki gunung Everest.
Sekian tahun kemudian, akhirnya ia bisa mendaki lagi dengan menggunakan kaki palsu. Ya, kaki palsu. Dan proyek pertamanya langsung menaklukkan gunung Everest. Wow, waktu itu seluruh media massa seluruh Amerika langsung menjadikan ia sebagai berita utamanya: "Seorang cacat yang mendaki gunung Everest pertama." Dan bagi pendaki itu ia sangat bangga.
Ia bersama timnya mendaki dan terus mendaki. Mendekati puncak (tinggal sedikit lagi), ia dan timnya melihat ada seorang pendaki lain yang sedang tergeletak pingsan. Orang itu harus segera ditolong, kalau tidak nyawanya akan segera melayang karena kehabisan oksigen.
Di antara dilema dua pilihan, apakah ia harus menolong orang itu dan kembali turun ke bawah, atau ia bisa langsung naik ke puncak dan mencapai impiannya setelah sekian puluh tahun dan beribu pengorbanan. Dua pilihan yang sulit. Mana yang akan ia pilih?
Kalau Anda jadi pendaki itu mana yang akan Anda pilih?
Pendaki itu akhirnya memutuskan untuk meneruskan pendakiannya. Ia pun mencapai puncak gunung Everest dan menancapkan benderanya, kemudian ia turun. Dalam perjalanannya turun, pendaki itu melihat orang yang pingsan itu sudah tidak bernyawa. Seolah tidak pernah tahu, mereka melanjutkan perjalanan turun mereka dan segera menjadi berita utama di Amerika selama satu minggi: "Orang cacat pertama yang menaklukkan gunung Everest."
Tapi sepintar-pintarnya menutupi kebusukan, tetap saja tercium. Akhirnya suatu hari rahasianya hari itu terbongkar. Ia langsung berubah dari seorang pahlawan menjadi seorang pengecut. Seharusnya ia menolong orang itu, kata orang-orang. Dan selama seminggu pula ia menjadi bahan cemoohan di surat kabar dan media lainnya.
1 Korintus 13:13 "Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih."
Iman berbicara tentang mimpi-mimpi kita. Setiap orang mempunyai mimpi. Setiap orang ingin mencapai cita-citanya. Tapi yang paling penting dari proses selama kita berharap agar mimpi kita menjadi kenyataan adalah kasih. Kasihlah yang terpenting. Selalu usahakan agar dalam proses ketika kita mencapai mimpi itu, kita tidak kehilangan kasih, baik itu kasih dari keluarga, pasangan hidup maupun sahabat-sahabat kita. Adalah sesuatu yang sia-sia (iman yang telah menjadi sia-sia) bila kita mencapai mimpi kita tapi kehilangan kasih. Berjaga-jagalah.
Kamis, 27 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar