Rabu, 18 Februari 2009

Bihun atau Mihun ya?

Dulu saya pernah menjadi sales sebuah produk bihun bungkus. Sebut saja merek yang saya tawarkan bernama "SukaBihun". Saya pun setiap hari menawarkan produk saya ke toko-toko di pasar baik tradisional maupun supermarket.

Di pasar, merek bihun saya mempunyai seorang kompetitor yang terkenal. Sebut saja merek kompetitor itu "Mihunku". Di pasaran, merek "Mihunku" ini sangat terkenal dan laris. Warnanya merah kejinggaan dan menurut para konsumen, "Mihunku" kenyal dan enak. Benar-benar sebuah produk kompetitor dari merek yang saya jual. Padahal produk yang kujual ("SukaBihun") juga tak kalah enaknya.

Suatu hari ketika rapat saya melaporkan penjualan pada bosku. Di sinilah saya mendapat satu cerita yang membuka wawasanku lebih luas lagi. Simak baik-baik kata bosku ini.

"Mengapa penjualan kita perlu didongkrak? Karena produk kita bagus dan tidak kalah dibanding merek lain. Katakanlah 'Mihunku'. Tapi, apakah masyarakat benar-benar mengetahui nama merek bihun yang mereka konsumsi sehari-hari dengan merek 'Mihunku'?

"Masyarakat Indonesia cenderung ikut-ikutan. Mungkin ada teman dari mereka yang mengatakan kalau ada bihun yang enak. Warnanya merah kejinggaan. Coba aja deh beli. Dan orang tersebut pun pergi ke toko dan mencari bihun merah kejinggaan seperti yang direkomendasikan temannya.

"Mereka tidak pernah tahu apa merek yang mereka makan, apa kandungan nutrisi dalam produk itu. Mereka hanya ke toko dan berkata, 'Itu loh pak, bihun yang warnanya merah yang enak yang biasanya itu loh pak.' Mereka tidak peduli dengan merek. Mereka tidak peduli dengan apakah merek itu 'Mihunku', atau 'Mihunnya' atau 'Mihunkitasemua', yang penting 'seperti biasanya itu loh pak'.

"Itu menunjukkan bahwa mental bangsa kita hanya ikut-ikutan. Orang yang suka ikut-ikutan biasanya (maaf) ber-IQ rendah. Salah satu ciri orang yang ber-IQ tinggi adalah meneliti. Apa merek yang mereka makan, kandungan nutrisnya apa dan sebagainya. Sebaliknya, yang IQ rendah cenderung tidak mau tahu dan ikut-ikutan. Mental seperti inilah juga yang dimanfaatkan oleh para produsen. Kita tahu di luar sana banyak produk yang terkesan mendompleng dan mereknya mirip. (Contoh yang JINS tahu: Kentucky Fried Chicken yang ada gerai di mall dengan Kentaki Pred Ciken yang dijual oleh bapak-bapak yang pake kereta dorong - nama mirip, kualitasnya.... ya jelas beda lahh...)"

So, masih maukah kita ikut-ikutan orang lain? Dari renungan tentang kisah Daud dua hari lalu, kita sudah melihat di mana orang Israel mentalnya hanya ikut-ikutan tidak maju. Justru Daud-lah yang tampaknya "ber-IQ tinggi" dengan tampil beda.

So, masih mau ikut-ikutan?

Tidak ada komentar: