Senin, 05 Januari 2009

Point of No Return

Aku berdiri di sebuah atap sebuah gedung yang tinggi di sebuah sore hari. Cuaca sangat dingin. Memang sekarang sedang musim dingin di sini. Napasku tersengal-sengal. Maklum, aku baru saja berlari lewat tangga darurat dari kamarku di lantai dua puluh lima menuju atap lantai empat puluh.

Cuaca sangat dingin. Memang belum turun salju, tapi aku bisa melihat asap keluar dari napasku yang tersengal-sengal.

Aku berhenti sebentar. Lalu kumulai dengan langkah pertama. Tap.. tap.. tap.. aku makin cepat. Cepat dan cepat. Aku kemudian berlari. Berlari sekuat tenagaku dan sebisa yang aku dapat. Aku sudah mantap. Hatiku tidak akan tergoyahkan lagi. Istriku meninggalkanku, usahaku yang kurintis selama ini bankrut, teman-temanku meninggalkanku. Aku kesepian. Aku bosan. Tapi tidak akan lama lagi. Karena sebentar lagi ini semua akan berakhir.

Dan di ujung gedung aku melompat dengan mantap.

Ah... betapa senangnya sebentar lagi aku akan meninggalkan semua rasa sakit ini. Aku terjun dengan mantap, tanpa keraguan sedikitpun. Aku melesat... terus dan terus ke bawah. Sebentar lagi, pikirku.

Di lantai tiga puluh, aku melihat seorang nenek tetanggaku. Ia sedang menyiram bunga di jendela sambil sesekali menciuminya. Sekilas, aku melihat wajah yang sangat bahagia terpancar di wajahnya. Bagaimana bisa? Padahal seingatku baru saja minggu lalu ia ditinggalkan suaminya untuk selamanya.

Aku terus meluncur ke bawah.

Di lantai dua puluh lima tempat aku tinggal, aku melihat lewat jendela kamarku sendiri. Dan... What the...!! Sahabatku yang sekamar denganku sedang menciumi celana dalamku. What the....! Apa?!? Padahal selama ini dia sangat kuhormati, sangat kupercaya dan sangat kukagumi! Mengapa!? Apa selama ini dia menyembunyikan siapa dia sebenarnya???

Aku terus meluncur ke bawah.

Di lantai sembilan belas, aku melihat seorang anak kecil sedang asyik bermain basket. Ia memantul-mantulkan bola ke tembok dan menangkapnya kembali... di atas sebuah kursi roda. Yap, anak itu baru saja kehilangan kedua kakinya karena kecelakaan. Padahal ia hampir saja mendapatkan beasiswa basket. Herannya... ia tersenyum.

Di lantai lima belas dengan cepat aku melihat dua orang suami istri yang sedang bertengkar. Sampai si suami memukuli istrinya!! Aku pengen berteriak mencegah, tapi tubuhku terus meluncur ke bawah. Padahal pasangan itu terlihat selalu akur dan romantis di mana pun mereka berada.

Di lantai sepuluh, aku melihat seorang yang baru saja dikhianati sahabatnya sendiri sehingga ia harus dipecat dari pekerjaannya. Tapi yang aku lihat bukan orang yang sedang depresi. Orang itu malah tertawa, sambil memetik gitar dan bernyanyi!

Apa-apaan ini? Mengapa mereka semua masih bisa bergembira? Bukankah mereka baru saja dihajar oleh kekejaman dunia ini? Mengapa malah ada yang terlihat sempurna di luar ternyata mereka pada dasarnya rapuh di dalam? Mengapa? Padahal... masalah mereka tak kalah berat dibanding masalahku.

Dan dalam waktu sekian detik, aku seperti melihat kelebatan kilasan kenangan masa laluku. Di mana aku masih bisa mencari pekerjaan baru, melihat kenanganku yang paling indah dengan istriku dan menyelesaikan semuanya dengan baik-baik.

Ya Tuhan, aku menyesal.

Tapi semuanya sudah terlambat.

Dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Tidak ada komentar: