Selasa, 13 Januari 2009

Aku Belajar Dari Tukang Koran

Ada pemandangan yang menarik setiap pagi. Setiap hari ketika saya berangkat ke kantor dan berhenti di sebuah lampu merah sebuah persimpangan, saya selalu tertarik melihat seorang penjaja koran di lampu merah.

Bukan gembel, bukan pengamen, bukan pembersih kaca, bukan pula pengemis, melainkan seorang wanita cantik dengan rambut panjang lurus yang diikat ekor kuda, memakai kaos lengan panjang kasual (dan celana panjang kasual) serta memakai topi.

Wajahnya selalu (ya, selalu) tersenyum pada setiap orang yang lewat atau berhenti di lampu merah itu. Ia kemudian menjajakan korannya pada pengendara-pengendara yang berhenti, "Koran mas?" tanyanya. Ia cantik, dan sudah jelas ia bukan seorang pengemis lusuh atau gembel karena ia berdandan juga.

Setiap pagi baik berhenti di lampu merah ataupun tidak, saya selalu melihat gadis itu. Weits, bukan karena ada perasaan apa-apa. Cuma saya salut dengan gadis itu. Di bawah terik matahari ia masih bisa memberikan senyum pada setiap pengendara yang lewat. Ia selalu menyapa beberapa langganannya. Terlebih ia selalu tampil rapi. Berbeda dengan beberapa penjaja koran lainnya, ia tampil "menarik" dan "bersih" dibanding lainnya. Alhasil, korannya paling laku!

Apa yang bisa saya petik dari pelajaran sederhana ini?

Gadis itu ialah seorang yang sederhana. Koran yang ia jual tidak berbeda dengan koran yang dijajakan penjual koran lainnya. Waktu ia menjajakan korannya juga sama: jam-jam sibuk. Tapi apa yang membedakan gadis itu dengan penjual lainnya sehingga ia paling laris?

Jawabannya: senyum.

Yap, gadis itu selalu tersenyum pada setiap ia menjajakan korannya. "Koran mas?" sambil tersenyum. Satu hal yang sangat kecil. Ketika ia tersenyum, orang lain akan merasa lebih akrab (Bandingkan dengan penjaja koran yang selalu memasang muka melas atau muka garang).

Saya teringat dengan satu cerita lain. Di sebuah jalan yang ramai di Amerika, ada sebuah kedai kopi yang sangat ramai. Kedai itu tidak terlalu besar, tetapi banyak orang yang mau berangkat kerja di pagi hari selalu mampir untuk take away kopi. Sebaliknya dekat-dekat situ ada sebuah kedai kopi yang lebih bagus dan kualitas kopi yang lebih enak malah relatif sepi pengunjung.

Usut punya usut ternyata yang membedakan ada di pelayanan kedua kedai tersebut. Di kedai yang lebih kecil, si pelayan selalu menyapa setiap pengunjung dengan nama masing-masing. "Pagi John, mau kopi seperti biasa hari ini?" atau "Selamat pagi Ms Granger, kopi pahit tanpa gula seperti biasa?". Jelas pengunjung akan merasa lebih dihargai dan lebih dikenal apabila dipanggil dengan nama. Sekalipun rasa kopi itu biasa, namun rasa kekeluargaan dan kehangatan yang diciptakan, itulah yang menjadi daya tarik kedai tersebut.

Sobat JINS, senyum, keramahan dan sapaan itu sangat kuat. Bukan hanya berlaku di dunia bisnis, melainkan juga kehidupan sosialmu. Orang akan punya banyak teman bila ia rajin menyapa dan ramah. Orang yang berat bibir biasanya tidak punya banyak koneksi. Apalagi orang yang selalu murung. Wah...

Belajarlah tersenyum mulai hari ini. Tingkatkan inner charm diri Anda dan mulailah ramah kepada setiap orang. Siapa yang tak mau punya banyak teman? Saya juga mau...

Tidak ada komentar: