Selasa, 19 Agustus 2008

Small Action Can Change Somebody's World (2)

Cerita ini diawali saat teman saya dan rekan bisnisnya pergi makan siang di sebuah warung bakso yang cukup terkenal di Yogyakarta. Mereka duduk di salah satu meja panjang baris kedua dari kasir yang dapat menampung sepuluh orang bila duduk mengengelilingi meja. Tempat duduk di meja tersebut sudah terisi tujuh orang pembeli, teman saya dan rekan bisnisnya serta lima orang pembeli lainnya.

Di tengah keasyikan menikmati bakso, tiba-tiba datang satu keluarga yang duduk diantara tempat duduk yang tersisa di meja mereka. Keluarga tersebut adalah sepasang suami istri yang masih muda dan seorang anaknya yang berusia kurang lebih lima tahun. Dilihat dari penampilan luar mereka yang sedikit bau dengan baju yang agak kusam, dapat disimpulkan kalau keluarga tersebut adalah keluarga yang sangat sederhana, belum lagi kebiasaan anaknya yang menarik ingusnya keluar masuk seperti angka sebelas dan terkadang seperti angka satu dengan warna kuning agak kehijauan membuktikan anak tersebut baru sembuh dari suatu penyakit. Dengan penuh kasih dan sayang ibunya menyeka setiap ingus yang keluar dari hidung anaknya.

Sinar bahagia terpancar dari wajah keluarga itu saat bakso pesanannya datang komplit dengan minuman. Keluarga itu melahap setiap sendok dari mangkok bakso yang ada seakan-akan setiap sendokan sungguh-sungguh memaknai sebuah perayaan akan momen yang sangat berarti dalam keluarga itu. Berbeda dengan teman saya dan lima orang pembeli lainnya (kecuali rekan bisnis teman saya). Bagi mereka keadaan tersebut merupakan penyiksaan. Bayangkan saja, bagaimana rasanya makan bakso dengan mencium bau badan yang tidak enak, serta melihat dan mendengar ingus yang ditarik keluar masuk yang sesekali dibersihkan oleh ibunya.

Setiap kali memakan bakso sambil meminum kuahnya, rasanya seperti ingus telah tercampur dengan makanan dan membuat selera makan hilang. Wajar bila kemudian lima orang pembeli yang duduk semeja tadi meninggalkan satu persatu tanpa menghabiskan baksonya.

Ada rasa kepahitan yang terpancar diwajah keluarga itu, seperti rasa rendah diri melihat sikap lima pembeli lainnya. Untung tidak berlangsung lama, saat mereka melihat teman saya dan rekannya, keceriaan mereka pulih kembali. Rekan bisnis teman saya tetap menikmati bakso dengan segala kecuekannya. Seolah-olah tidak ada bau disekitarnya dan tidak ada suara ingus yang didengar. Teman saya tidak bisa berbuat banyak selain belajar cuek dan menghabiskan sisa baksonya. Lagi pula teman sayalah yang ditraktir makan sehingga tidak berhak mengajukan hal-hal yang tidak sopan. Selesai makan, teman saya dan rekannya masih duduk tiga puluh menit. Teman saya heran dengan tingkah rekannya yang diluar kebiasaannya, karena biasanya setelah makan hanya duduk paling lama sepuluh menit.

Saat teman saya dan rekan bisnisnya keluar meninggalkan warung bakso dan keluarga itu, dalam perjalanan pulang, rekannya mengatakan ia sangat terganggu duduk di samping keluarga tersebut. Ia merasakan bau dan terganggu dengan suara ingus anak itu. Ia merasakan tepat seperti yang teman saya rasakan. Tetapi jika ia meninggalkan keluarga tersebut di tengah kegembiraan mereka, keluarga itu akan merasa terpukul, tidak berharga, terasing dan putus asa. Sebagai kepala keluarga, suami itu sedang memberi yang terbaik untuk keluarganya. Mereka bersukacita merayakan sebuah momen yang berharga bagi mereka. Suami itu telah mengeluarkan uang dari hasil kerja kerasnya hanya untuk semangkok bakso yang bagi ekonomi keluarga itu cukup mahal.

Teman saya sangat terkejut mendengar penuturan rekannya. Dan tidak menyangka rekannya telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi keluarga itu. Dengan caranya yang khas, bertahan makan bakso sampai habis dan menunggu tiga puluh menit setelah makan, ternyata telah memberi semangat baru bagi keluarga itu.

Mendengar cerita itu saya berusaha membayangkan bagaimana rasa kepahitan, rendah diri dan terasing di wajah kedua suami istri ketika melihat pembeli yang lain meninggalkan meja tanpa menghabiskan makanannya, dan bagaimana pasangan ini kembali ceria saat melihat sikap rekan bisnis teman saya yang cuek.

Inilah mengasihi sesama dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi yaitu bagaimana mengasihi sesama dapat diwujudkan tanpa perkataan dalam waktu yang singkat. Cukup dengan meneruskan makan bakso sampai habis, masa bodoh dengan sikap orang lain yang tidak terpuji. Menunggu tiga puluh menit setelah selesai makan dan terakhir menahan rasa bau untuk menyempurnakan segalanya telah menunjukkan suatu keajaiban kasih yang dilakukan oleh seorang teman.

Mengasihi sesama merupakan pekerjaan yang harus dilakukan setiap hari. Seulas senyum, menahan perkataan yang dapat melukai orang lain, menahan rasa bau atau jijik, suatu lelucon, persahabatan yang akrab, memaafkan sesama, menolong yang kesulitan merupakan ungkapan kasih yang layak dilakukan. Kekuatan kasih terletak bagaimana melakukan kasih bukan meng-imani saja. Yang pasti bisa dilakukan dengan atau tanpa perkataan. Pasti tantangannya berat tetapi baik untuk pertumbuhan karakter. (Galatia 5:22-23).

sumber: www.ronnyarya.co.cc

Tidak ada komentar: