Saya pernah mendengar satu cerita yang cukup menarik. Suatu ketika di jaman Yunani kuno, ada seorang anak bertanya pada ayahnya.
"Ayah, seperti apa dewa waktu itu?" tanya sang anak.
Ayahnya menjawab dengan sabar, "Dewa Waktu adalah dewa yang paling cepat. Ia tidak memakai baju dan sangat licin. Susah sekali menangkap dewa itu, bahkan kelihatannya mustahil. Dia selalu berlari dan sangat cepat, lincah. Pokoknya, susah banget deh mau ditangkap."
"Lalu bagaimana cara menangkap dewa itu, yah?"
"Gampang-gampang susah nak. Untungnya, dewa itu tidak pernah melihat ke belakang. Meskipun ia cepat, ia tak pernah menoleh. Dan ia juga punya kunciran rambut yang panjang. Jadi kalau pas ia lewat, tangkap saja rambutnya, maka ia bisa kaupegang. Tapi ia tidak bisa kau tangkap juga karena ia cepat dan lincah."
Apa yang saya pelajari dari cerita di atas?
Yap, waktu memang seperti deskripsi mitos dewa waktu itu. Waktu itu cepat, waktu tidak peduli masa lalumu, waktu tidak bisa diulang, dan waktu tak bisa dimiliki. Kita tidak bisa mengendalikan waktu, hanya bisa memanfaatkannya.
Ada satu cerita lagi. Seorang paman jauhku (sudah tua), ia mudah sekali dekat dengan anak-anak. Ia dekat sekali dengan cucu-cucunya, dekat dengan anak-anak di kampung dan bahkan anak yang paling nakal sekalipun bisa dekat dengannya. Tapi herannya, ia tidak pernah dekat dengan anaknya sendiri. Anaknya sekarang seorang pengusaha di Amerika, tapi paman tua ini tidak pernah akrab dengan anaknya sendiri (padahal dengan anak-anak betah). Mengapa?
Suatu hari, seorang temannya bertanya padanya, "Mengapa kamu mudah dekat dengan anak-anak sedangkan dengan anakmu sendiri kamu tidak akrab?"
Paman tua itu berlinang air mata menjawab, "Dulu ketika muda dan anak-anak saya masih kecil, saya bekerja keras membanting tulang. Setiap hari kerjaaaaa melulu dengan harapan agar saya bisa mendapatkan suatu kekayaan dan kehidupan keluargaku akan lebih baik. Siang malam bekerja terus dan itulah mengapa saya menelantarkan anak-anakku.
"Kini saya sudah tua. Saya menyesal. Kekayaan ini sama sekali tidak ada artinya. Akibat dari itu, harga yang harus saya bayar adalah saya tidak dekat dengan anak-anakku. Mereka kekurangan kasih sayang seorang ayah. Jadi sekarang saya memutuskan untuk dekat dengan anak-anak dan menunjukkan kasih sayangku pada mereka."
Tapi... waktu tidak akan pernah bisa diulang kembali dan paman itu tidak akan bisa dekat lagi dengan anak kandungnya sendiri.
Saya sering kali menolak anak saya ketika ia minta digendong atau dicium. Seringkali dengan alasan sibuk saya menolak halus anak saya hingga suatu hari saya ditegur istri saya, "Pak, semuanya ada masanya loh pak."
"Semuanya ada masanya. Sekarang bapak masih bisa cium-cium dan meluk dia, nanti kalau sudah agak besaran, ada masanya dia sudah tidak mau dipeluk dan dicium-cium sama bapaknya lagi loh..."
Saya bagai tersadar dari mimpi dan memeluk anak saya. Betul kata istri saya, ada masanya. Sekarang ia masih bisa dipeluk. Nanti kalau sudah sekolah, sudah tidak mungkin anak saya minta dipeluk-peluk dan dicium. Malu, katanya. Dan mumpung sekarang masih ada waktu, saya mau puas-puasin.
Sobat JINS, semuanya ada waktunya. Anak-anak, kita sendiri, keluarga, Tuhan kita, gereja, sahabat-sahabat kita, pekerjaan kita, semuanya ada waktunya. Waktu tidak pernah menunggu. Apabila kita bersantai katakanlah sepuluh menit, waktu tidak akan berhenti menunggumu bersantai selama sepuluh menit. Ia akan terus berjalan.
Dan ketika kita tidak memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, suatu hari ketika penyesalan itu tiba, semuanya sudah terlambat. Waktu yang sudah berlalu itu tidak akan bisa diulang kembali.
Lebih baik, manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya mulai dari sekarang. Dewa waktu tidak bisa ditangkap. Tapi kita bisa mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dengan sebaik-baiknya sehingga tidak timbul penyesalan.
- disadur dari khotbah Pdt. Andi dari Bandung: GMS 19 April 2009-
Minggu, 19 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar