Siang hari di Surabaya kemarin, cuaca yang panas dan sangat gerah, membuatku kepingin untuk mencari minuman yang segar-segar. Ditambah perut yang lapar, wah, jadi semakin kepingin untuk makan sesuatu yang segar-segar juga. Pilih sana pilih sini, akhirnya saya memutuskan untuk makan serabi di bilangan kampus ITS.
Dulu ketika waktu saya masih kuliah di sana, ada sebuah mobil boks yang menjual serabi solo di pinggir jalan. Rasa serabinya enak. Bumbunya juga mantap. Dan saya termasuk salah seorang langganannya. Kini setelah sekian tahun saya bekerja dan jarang melewati kawasan kampus saya itu, baru saya ke sana setelah sekian lama.
Eh ternyata tukang serabi itu sudah tidak jual lagi. Selidik punya selidik, tukan serabi yang biasa jualan di pinggir jalan itu sudah punya satu warung sendiri. Tanpa pikir panjang akhirnya saya masuk ke sana dan memesan seporsi serabi.
Hmmm pasti lezat, pikirku, setelah sekian tahun tidak makan. Tapi alangkah kecewanya diriku ketika saya memakan serabi itu. Rasanya sudah berubah. Tidak begitu enak, tidak lagi renyah seperti dulu. Ada sesuatu yang salah dengan serabi itu. Bumbunya pun sepertinya "lain". Wah, harapanku untuk mengulangi masa-masa kuliahku dulu sepertinya harus kandas.
Malam harinya ketika saya bercakap-cakap dengan sahabatku, entah kenapa timbul suatu persitegangan di antara kita. Pembicaraan kami berlangsung agak panas. Sahabatku menegur saya dengan sedikit keras. Ia berkata kalau saya sudah berubah. Saya kini sombong karena telah berada di atas dan sekarang saya meremehkan orang-orang yang di bawah saya.
Diessh.. kepala saya bagai dihantam palu godam. Saya teringat lagi akan serabi yang saya makan siang hari itu. Rasanya sudah berbeda, sudah tidak enak. Padahal dulu enak sekali dan membuat saya ketagihan. Mengapa rasa serabi itu berbeda? Apa karena tukang serabi itu sudah sukses dan tidak berjualan lagi dengan mobil boks butut dan sekarang sudah buka warung sendiri?
Saya mulai sadar, ibaratnya saya seperti serabi itu. Dulu ketika saya belum punya apa-apa, saya begitu sederhana. Begitu lepas, bisa bergaul dengan siapa pun. Semua teman-teman saya bisa tertawa lepas mendengar gurauanku. Saya bisa bergaul dengan siapa saja.
Tapi kini... saya sudah banyak berubah. Saya sudah cukup sukses, dan saya mulai jatuh ke dalam dosa kesombongan. Kini setiap kata-kata yang saya ucapkan terdengar seperti ungkapan ketinggi-hatian yang merendahkan orang lain. Saya sudah mulai sombong. Teman-teman di dekat saya pun sudah mulai muak dengan segala kesombongan saya. Apa yang kini saya ucapkan seolah menjadi batu sandungan buat mereka.
Dan mungkin juga karena saya sekarang sudah terbiasa makan di restoran, makan serabi di warung membuat rasa serabi itu terasa biasa-biasa saja.
Dan malam itu, sahabat saya menegurku. Saya sadar, siapapun dan dalam keadaan apapun, saya adalah saya. Saya tidak boleh berubah menjadi lebih buruk. Saya tidak boleh sombong karena pada dasarnya saya bukan siapa-siapa. Dengan segala berkat dan karunia yang Tuhan percayakan padaku, sangat memungkinkan membuat saya jatuh dalam dosa kesombongan. Dan saya memang telah jatuh.
Kini saya disadarkan Tuhan lewat sepiring serabi. Dan saya harus bangkit kembali, keluar dari liang kesombongan saya. Saya harus sadar kalau semua kesuksesan yang kumiliki saat ini hanya titipan dari Tuhan. Tidak lebih! Justru saya harus menggunakan apa yang saya miliki untuk memberkati orang lain dan bukan menjadi batu sandungan. Kiranya teman-temanku memaafkan saya akan segala kesombonganku. Saya berjanji akan berubah dan kembali lagi menjadi saya yang sederhana seperti dulu lagi.
Kini setiap kali saya mulai sombong, saya akan teringat kisah saya tentang serabi ini.
Rabu, 06 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
nice story ko.. ^^
Posting Komentar