Rabu, 30 September 2009

His Banner Over Me Is LOVE


Kidung Agung 2:4 dalam versi King James berbunyi: "He brought me to the banqueting house, and his banner over me was love." Dalam terjemahan lain bunyinya, "You led me to your banquet room and showered me with love." Dalam versi The Message bunyinya: "He took me home with him for a festive meal, but his eyes feasted on me!" Dalam
terjemahan bahasa Indonesia bunyinya: "Telah dibawanya aku ke rumah pesta, dan panjinya di atasku adalah cinta."

Firman ini begitu romantis dan indah. Bukan hanya menggambarkan hubungan Salomo dengan kekasihnya, namun juga menggambarkan hubungan Bapa Sorgawi dengan kita. Tuhan menyelimuti kita dengan kasih. Ia menyirami kita dengan kasih. Tuhan memandangi kita dengan penuh cinta dan kasih, seolah-olah Ia berpesta menikmati kita (lihat terjemahan versi The Message). Ketika kita menerima siraman kasih-Nya, kita merasa aman, merasa damai, merasa penuh, merasa nyaman, merasa sukacita dan lain-lain. Ia sangat bangga atas kita.

Kisah berikut ini diambil dari salah satu kisah "Chicken Soup" yang menggambarkan kasih seorang ayah terhadap anak gadisnya yang ketakutan. Di dalam kasih tidak ada ketakutan. Seorang ayah yang baik akan menyelimuti anak gadisnya dengan kasih dan mengusir segala ketakutan. Dalam keadaan apapun, biarlah kita ingat, His banner over
me is love! Itu cukup bagi kita.

GADIS KECIL AYAH

"Maukah ibu memberitahu hal ini kepada ayah?"

Itulah bagian yang paling buruk yang pernah saya alami. Pada usia tujuh belas, saya harus memberitahu ibu bahwa saya hamil sebelum pernikahan. Lebih berat lagi, saya harus memberitahu hal yang sama kepada ayah. Ayah selalu menjadi pribadi yang memberikan keberanian dan kekuatan bagi saya dalam kehidupan ini. Beliau selalu memandang saya dengan penuh kebanggaan, dan saya telah berusaha agar kehidupan
saya selalu membanggakan beliau. Hanya sampai saat ini. Kini semuanya berantakan. Saya tidak akan menjadi gadis kecil ayah lagi. Ia tidak akan pernah memandang saya dengan cara yang sama lagi. Saya menghembuskan nafas berat dan bersandar pada bahu ibu untuk mendapatkan kenyamanan.

"Aku harus membawa engkau ke suatu tempat, sementara aku berbicara dengan ayahmu. Mengerti kenapa?"

"Ya, Bu." Karena ayah tidak akan dapat bangga lagi dan memandang gadis kecilnya, itulah alasannya. Saya pergi malam itu ke gereja dan bertemu dengan Pendeta, yang dengannya saya merasa aman pada waktu itu. Ia menguatkan dan menghibur saya, sementara ibu pulang ke rumah dan menelpon ayah di kantor untuk menyampaikan kabar buruk kehamilan saya.

Nampaknya seperti mimpi. Pada waktu itu saya merasa nyaman bersama Pendeta yang tidak menyalahkan saya. Kami berdoa dan berbicara, dan saya mulai menerima dan mengerti jalan yang harus saya hadapi. Lantas saya melihat kilatan cahaya lampu mobil di jendela gereja.

Ibu telah kembali dari rumah untuk menjemput saya pulang, dan saya tahu ayah ada bersamanya di mobil. Saya begitu takut. Saya berlari ke ruang tengah dan masuk ke kamar mandi, menutup dan menguncinya dari dalam. Pendeta mengejar saya dan menegur saya.

"Michelle, kamu jangan berlaku begini. Kamu harus menemui ayahmu cepat atau lambat. Ia tidak akan pulang kalau tidak bersamamu. Ayolah!"

"Oke, tetapi pak Pendeta menemani saya ya? Saya takut?"

"Tentu saja, Michele. Tentu!" Saya membuka pintu dan pelan-pelan mengikuti Pendeta kembali ke ruang tengah pastori gereja. Ayah dan ibu masih belum masuk ruangan. Saya membayangkan mereka masih duduk di mobil di luar, memberi kesempatan kepada ayah untuk mempersiapkan diri apa yang harus ia katakan atau perbuat. Ibu mengetahui betapa saya ketakutan. Bukan takut diteriaki atau dimarahi ayah. Saya tidak pernah merasa takut kepada ayah. Yang saya takutkan adalah kesedihan di matanya. Saya merasa bersalah karena ketika saya ada dalam kesulitan, saya tidak datang meminta dukungannya. Yang saya tahu saya bukan lagi gadis kecil ayah yang membanggakannya.

Saya mendengar derap langkah kaki di jalan menuju pintu gereja. Bibir saya mulai bergetar, airmata saya mulai menetes di pelupuk mata, dan saya bersembunyi di balik Pendeta. Ibu masuk lebih dulu, dan menoleh kepada saya dengan tersenyum tipis. Mata Ibu terlihat bengkak karena airmatanya, dan saya bersyukur saya tidak melihat ibu menangis di depan saya. Lalu, datanglah ayah. Ia tidak menyalami Pendeta, langsung bergegas kepada saya, merangkul saya, mendekap saya di dadanya sambil berkata, "I love you. Saya mengasihimu, saya mengasihimu. Saya mengasihi bayi di kandunganmu juga."

Ia tidak menangis. Tidak, itu bukan tipe ayah saya. Namun saya merasakan tubuh ayah bergetar. Saya tahu, ayah membutuhkan penguasaan diri yang besar agar dirinya tak menangis, dan saya bangga terhadapnya, dan berterima kasih kepadanya juga. Ketika ia mendorong saya dan memandang saya, nampak di matanya kasih dan kebanggaan itu. Bahkan pada saat sulit sekalipun.

"Saya menyesal, Ayah! Saya mengasihi Ayah."

"Ayah tahu. Mari kita pulang." Dan ke rumah kami pulang. Semua ketakutan saya lenyap. Masih akan ada penderitaan dan pencobaan yang bahkan saya tak dapat bayangkan. Namun saya memiliki keluarga yang kokoh dan penuh kasih yang saya tahu akan selalu ada di sana bagi saya. Lebih dari segalanya, saya masih tetap gadis kecil ayah. Diperlengkapi dengan kesadaran itu, tak ada gunung tinggi yang tak
akan dapat saya daki dan tak ada badai yang tidak dapat saya lewati, bersama mereka. Terima kasih, Ayah! (Kisah Michelle Campbell yang dimuat di Chicken Soup 1999)

Itulah salah satu pengalaman seseorang yang disiram dengan kasih. Ia dicinta, ia disayang, ia diselimuti dengan kasih. Orang seperti ini bisa berkata, "His banner over me is love!"

Tidak ada komentar: