Jumat, 05 September 2008

Perpisahan

Tuhan yang memberikan, Tuhan juga yang akan mengambilnya suatu hari nanti. Mungkin itulah yang terjadi padaku.

Sejak kecil saya dibesarkan oleh ibu saya. Ayah saya bekerja di luar kota yang jauh. Saya tiga bersaudara, mempunyai seorang kakak perempuan dan adik perempuan. Tidak ada laki-laki di rumah kecuali saya sendiri. Sejak kecil saya tinggal bersama ibu, kakak dan adik perempuan saya, bahkan kedua ekor anjing di rumah kami juga betina. Sebenarnya saya punya dua orang kakak laki-laki, tetapi keduanya sudah meninggal ketika usia mereka masih muda.

Sebagai seorang anak lelaku, sejak kecil saya ingin sekali mempunyai seorang koko (sebutan untuk kakak laki-laki dalam bahasa Cina), seorang kakak yang bisa mendengarkan ceritaku, bermain bersamaku, bisa berbagi denganku. Kalau saya sedang ada masalah dengan "cinta monyet" saya, ia bisa membantuku dan memberi masukan-masukan. Saya ingin mempunyai seorang kakak yang bisa mengarahkanku, membimbingku sekaligus menjadi temanku.

Saya memang tak pernah memintanya pada Tuhan. Tapi Tuhan tahu isi hatiku. Tahun 2006 silam, saya (entah bagaimana caranya) saya dekat dengan seorang teman saya. Waktu itu saya baru saja putus dengan pacar saya. Tak lama kemudian ia putus juga dengan pacarnya. Mungkin merasa senasib, kami pun berteman dekat. Di sisi lain, kami juga sama-sama sedang mempersiapkan diri untuk sebuah kontes. Wah, jadi semakin sering bertemu.

Saya juga tidak tahu, sejak kapan saya menganggapnya sebagai seorang koko bagiku. Orangnya benar-benar seperti figur seorang kakak yang saya rindukan selama ini. Setiap saya ada masalah, ia selalu menjadi seseorang yang selalu mendengarkan keluh kesahku. Ketika saya sedang mengalami musibah, ia yang menolongku. Bahkan seringkali saya ngambek seperti seorang adik yang marah kepada kakaknya, ia selalu yang mengajak berdamai duluan. Sungguh, di hadapannya saya baru menyadari betapa saya seperti seorang anak kecil yang tidak dewasa.

Sahabatku (yang juga kokoku) tampak begitu dewasa. Kadang-kadang saya begitu iri dengan apa yang dipunyainya. Segala kepeduliannya, kebaikannya, benar-benar tidak seperti apa yang selama ini saya alami dengan teman-teman saya yang lain. Sungguh saya menemukan figur seorang kakak yang sebenarnya di dalamnya.

Dalam hatiku saya berpikir, selama dua puluh tiga tahun saya hidup, saya belum pernah merasakan seorang kakak, dan kini saya puya satu! Siapa lagi kalau bukan Tuhan yang memberi?

Ia juga yang mengajakku untuk mengenal Tuhan lebih dekat. Ia yang mengajariku berdoa, untuk taat kepada Yesus. Ia memberikan secercah pengharapan di saat saya sedang sumpek-sumpeknya dengan masalah. Orangnya juga punya sebuah bisnis sendiri. Pelayanan menjadi pemusik di gereja. Wah, pokoknya kokoku yang satu itu hebat banget deh!

Namun tampaknya ada seseorang yang tidak suka dengan kedekatan kami dan Tuhan. Ialah Iblis. Ia mulai memanfaatkan kelemahan-kelemahanku untuk masuk ke dalam celah hatiku dan mengintimidasi kami. Mulailah yang namanya percekcokan dan masalah. Kami mulai bosan satu sama lain. Bahkan (dengan jujur saya tuturkan di sini) saya ada rasa iri hati padanya. Setiap kali saya bertemu dengannya, ada perasaan tidak nyaman. Seperti "saya kalah darinya", "dia bukan apa-apa" dan "dia meremehkanmu". Perasaan itu menggangguku setiap kali saya mau berbicara padanya. Sehingga setiap tindakan yang dilakukannya selalu menuai kritik dan sinis dari saya.

Lama kelamaan, entah kenapa (apa mungkin karena tindakanku yang semakin hari semakin seperti anak kecil), ia mulai menjauhiku. Kami sudah jarang bersama lagi. Kalau ada masalah, saya lebih suka berbagi dengan teman saya yang lain ketimbang dia. Begitu pula dengannya. Kami jarang lagi bersama. Bahkan cenderung ada hawa permusuhan setiap kami mengobrol.

Kami sudah tidak pernah lagi berlatih bersama (kami berdua keanggotaan gym yang sama). Kami tidak pernah berdoa bersama lagi. Pokoknya setiap kali kami mengobrol selalu ada perasaan yang mengganjal dalam hati. Saya sendiri pun tidak tahu apa itu!

Dua bulan saya bergumul dengan Tuhan. Tuhan mulai menunjukkan mengapa hal itu bisa terjadi. Tidak langsung saya menyadari kalau kesalahannya ada padaku. Saya selalu menyalahkan sahabat saya itu. Tapi Tuhan itu benar-benar baik. Hari demi hari Ia mulai menunjukkan siapa sebenarnya saya di hadapan teman saya itu.

Saya benar-benar seperti seorang anak kecil yang tidak dewasa sama sekali. Merengek, memaki, menggantungkan solusi masalahku pada temanku itu, meminta perhatiannya, menuntut dan menghakimi ia. Benar-benar tindakan yang sangat murahan!! Dan tindakan seperti itu yang saya lakukan pada seseorang yang sangat saya kasihi. Saya malu sekali ketika saya diingatkan Tuhan.

Saat itu saya mulai bertanya, "Apakah saya salah, Tuhan?" Tuhan menjawab, "Sejak kecil kamu mendambakan figur seorang kakak. Kini kamu sudah merasakannya. Dan kini Aku mau kamu menjadi lebih dewasa dan lebih mandiri. Terpaksa saya harus memisahkan kalian untuk sementara."

Mulanya saya kira Tuhan hanya main-main. Tapi sejak itu hubunganku dengan temanku itu semakin merenggang. Bahkan saya menjadi lebih kekanak-kanakan daripada biasanya ketika bertemu dengannya! Saya memang seorang keparat! Tapi saya tidak bisa menghentikan sifatku yang kanak-kanak (mengkritik dan menunjukkan sikap bermusuhan)! Saya mau tapi tidak bisa!! Saya tidak bisa mencegah mulut dan sikap keparatku ini!!

Saat saya mulai menyadari kesalahan saya, semuanya sudah terlambat. Terlalu terlambat! Ia sudah menutup hatinya untukku. Ia tidak memberikan kesempatan lagi kepadaku. Ia memang tidak menjauh, tapi ada sesuatu yang menghalangi kami untuk seperti dulu lagi. Perasaan gengsi, sungkan, malu selalu menghinggapi diriku ketika saya ingin membuka pembicaraan.

Pemisahan ini juga semakin ditunjukkan Tuhan dengan pembelahan sel persekutuan tempat dulu kami bertumbuh. Kami dipisahkan 'secara paksa' oleh Tuhan.

Malam itu hatiku hancur. Hancur lebur tak bersisa. Saya menangis dan menangis. Tidak terhitung berapa banyak air mata yang saya kuras. Selama dua puluh tiga tahun saya hidup dan belum pernah mempunyai seorang 'kakak' yang akhirnya saya punya satu. Ternyata ini juga kandas. Persahabatan saja kandas, apalagi kalau saya membina rumah tangga suatu hari nanti. Saya takut! Takut! Mungkin benar apa yang dikatakan sahabat saya, "Kalau kamu begini terus, kamu tidak akan pernah bisa berteman dengan siapapun." Apalagi berumah tangga!, tambahku.

Saya menangis dan menangis. Menangisi diri saya yang bodoh dan tidak dewasa. Saat semuanya sudah terlanjur, saya baru menyadarinya dan sudah terlambat untuk kembali. Oh Tuhan, mengapa Engaku seperti ini padaku??

Suatu malam Tuhan menjawabku dengan suara yang audible. Ia berkata dengan lembut, "Sudah saatnya kamu tumbuh dewasa. Dan kamu akan lebih cepat tumbuhnya kalau kamu tidak bersama Romano lagi." Ia mengambil seorang yang sangat berharga di kehidupanku hanya untuk menjadikanku lebih dewasa.

Blogger terkasih, kadang-kadang Tuhan harus bertindak 'kejam' untuk membawa kita ke level yang lebih tinggi. Sudah pasti kita akan merasakan sakit dan pahit, tapi Tuhan tidak membiarkan kita. Ia senantiasa merangkul kita dan membantu kita dalam melewati proses itu. Sama seperti 'saya' yang diajar Tuhan untuk lebih dewasa. Mungkin juga 'saya' telah memberhalakan sahabatnya sehingga ia diingatkan.

Amsal 17:17 - suatu hubungan adalah anugerah dari Tuhan. Tuhan yang memberinya dan Tuhan juga bisa mengambilnya suatu hari nanti. Jadi, apapun anugerahmu, berhati-hatilah untuk jangan sampai kamu memberhalakannya. Jaga baik-baik kemurnian hatimu.

Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar: